Dalam cerita yang berkembang di
masyarakat Kota Majalengka, dikisahkan bahwa penamaan Majalengka berasal
dari nama sebuah pohon yakni pohon maja. Saat itu Kota Majalengka belum
bernama Majalengka. Kota Majalengka berupa sebuah kerajaan Hindu yang
dipimpin oleh seorang ratu yang sangat fanatik bernama Nyi Rambutkasih,
ada pula yang menyebutnya Nyi Ambet Kasih
Dahulu, wilayah Majalengka bernama
Sindangkasih. Saat ini kata Sindangkasih digunakan sebagai nama sebuah
desa di Kota Majalengka. Nyi Rambutkasih adalah sosok seorang ratu yang
cantik, sakti, dan bijaksana. Nyi Rambutkasih mampu membuat Sindangkasih
menjadi daerah yang aman, tenteram, makmur dan sentosa.
Sindangkasih merupakan daerah yang
subur. Berbagai tanaman melimpah ruah di daerah ini. Daerah ini dipenuhi
hutan yang membentang ke arah utara dan selatan. Dalam hutan itu pohon
berbatang lurus dan tinggi dengan bentuk daun kecil-kecil, mendominasi
di hutan itu. Pohon itu dinamakan pohon maja. Pohon yang memiliki
khasiat untuk menyembuhkan sakit demam.
Suatu hari, Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah yang telah memerintah Cirebon, menitahkan kepada
anaknya yang bernama Pangeran Muhammad untuk mendapatkan pohon maja. Ia
memberi tugas kepada anaknya karena saat itu warganya sedang terserang
penyakit demam.
Disebabkan pohon maja memiliki khasiat
menyembuhkan demam, maka Pangeran Muhammad pergi bersama istrinya yang
bernama Siti Armilah untuk ke daerah Sindangkasih. Mereka tidak hanya
diberi tugas mencari pohon maja, melainkan memiliki tugas untuk
menyebarkan agama Islam di Sindangkasih, sebuah kerajaan Hindu yang
dipimpin seorang ratu yang fanatik.
Nyi Rambutkasih sebagai seorang ratu
yang sakti, mengetahui maksud kedatangan Pangeran Muhammad. Ia kemudian
mengubah rupa hutan di Sindangkasih menjadi hutan pohon jati, bukan
hutan pohon maja.
Melihat pohon maja yang dicarinya sudah
tidak ada, Pangeran Muhammad pun berkata “Maja Langka” yang berarti
pohon maja tidak ada. Dari situlah ihwal penamaan Kota Majalengka
sekarang ini.
Pangeran Muhammad yang kecewa kemudian
memutuskan tidak akan kembali ke Cirebon. Ia bertapa di kaki gunung
hingga meninggal. Gunung itu kini bernama Margatapa. Sementara istrinya
mendapat amanat dari Pangeran Muhammad sebelum meninggal untuk tetap
mencari pohon maja dan menaklukan Nyi Rambutkasih yang fanatik agar
bersedia memeluk agama Islam.
Nyi Rambutkasih menolak dengan keras
ajakan Nyi Siti Armilah, hingga ia berucap:”Aku seorang Ratu pelindung
rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang
tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan
buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati.
Kemudian Nyi Siti Armilah menimpali
dengan perkataan,”Jika demikian halnya, makhluk apakah gerangan namanya
yang tidak akan mati dan tidak mau mati?”
Seiring dengan perkataan Nyi Siti Armilah itu. Nyi Rambutkasih pun lenyap (dalam Bahasa
Sunda ngahiang) tanpa meninggalkan bekas kuburnya. Meskipun demikian,
beberapa petilasan Nyi Rambutkasih masih dianggap angker, diantaranya
Sumur Sindangkasih, Sumur Sundajaya, Sumur Ciasih, dan batu-batu bekas
bertapa Nyi Rambutkasih.
Setelah peristiwa itu, Nyi Siti Armilah
menetap di Kerajaan Sindangkasih dan menyebarkan agama Islam. Ia
dimakamkan di samping kali Citangkurak. Di kali Citangkurak tumbuh pohon
Badori. Sebelum meninggal, Nyi Siti Armilah beramanat bahwa di dekat
kuburannya kelak akan menjadi tempat tinggal penguasa yang mengatur
pemerintahan di daerah maja yang langka.
Letak makam Nyi Siti Armilah terletak di belakang gedung Kabupaten Majalengka. Masyarakat Kota Majalengka menamakannya Embah Gedeng Badori dan kerap dikunjungi untuk ziarah.
No comments:
Post a Comment